Rabu, 08 Juni 2016

IBU HAMIL DENGAN PENYAKIT JANTUNG


IBU HAMIL DENGAN PENYAKIT JANTUNG

IBU HAMIL DENGAN PENYAKIT JANTUNG

@   Tanda dan Gejala
Lelah, penurnan tolernsi latihan, dispnea, ortopnea, pusing kadang sinkop, takikardi, tekanan denyut lebar, edema perifer, tekenan pada vena jugularis yang meningkat. (3)
@   Etiologi
Lesi  kongenital bertanggung jawab pada > 50 % penyakit jantung dalam kehamilan.
Penyebab lainnya antara lain : arteri koroner, hipertensi, disfungsi tiroid (8)
@   Klasifikasi penyakit jantung dalam kehamilan
a.       Kelas I
s  Tanpa pembatasan kegiatan fisik
s  Tanpa gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa
b.       Kelas II       
§  Sedikit pembatasan kegiatan fisik
§  Saat istirahat tidak ada keluhan
§  Pada kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti: kelelahan, jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina pectoris
c.       Kelas III
F   Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
F   Saat istirahat tidak ada keluhan
F   Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan gejala insufisiensi jantung
d.      Kelas IV
-    Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
@   Penanggulangan
Bagi penderita yang penyakitnya tidak berat dan tidak mempunyai riwayat obstetric buruk cukup dikuasai dengan diet saja dan diharapkan dapat lahir aterm. Lebih dari itu, sebaiknya dilakukan induksi persalinan karena prognosis jadi lebih buruk. Jika diabetes lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin, sebaiknya kehamilan diakhiri lebih dini sekitar pada umur kehamilan 36 – 38 minggu. Dan jika disertai komplikasi maka diakhiri lebih dini lagi dengan induksi maupun sectio Caesarea.
Secara garis besar penatalaksanaan mencakup mengurangi beban kerja jantung dengan tirah baring, (9)
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
Q   Kelas I
Tidak memerlukan pengobatan tambahan
Q   Kelas II
Umumnya tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada UK 28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kedua kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur malam cukup 8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein, rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu sekali dan seminggu sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS sejak 1 minggun sebelum waktu kelahiran. Lakukan persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural
Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan dengan ketat. Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit.
Pada kala II dapat spontan bila tidak ada gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan ibu tidak dapat dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum dengan segera
Tidak diperbolehkan memakai ergometrin karena kontraksi uterus yang bersifat tonik akan menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik dala jumlah besar
Q   Kelas III
Dirawat di RS selam hamil terutama pada UK 28 minggu dapat diberikan diuretic
Q   Kelas IV
Harus dirawat di RS
Kedua kelas ini tidak boleh hamil karena resiko terlalu berat. Pertimbangkan abortus terapeutik pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan pasien harus terus berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah baring, digitalis dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
Pemberian oksitosin cukup aman. Umumnya persalinan pervaginam lebih aman namun kala II harus diakhiri dengan cunam atau vacuum. Setelah kala III selesai, awasi dengan ketat, untuk menilai terjadinya decompensasi atau edema paru. Laktasi dilarang bagi pasien kelas III dan IV.
Operasi pada jantung untuk memperbaiki fungsi sebaiknya dilakukan sebelum hamil. Pada wanita hamil saat yang paling baik adalah trimester II namun berbahaya bagi bayinya karena setelah operasi harus diberikan obat anti pembekuan terus menerus  dan akan menyebabkan bahaya perdarahan pada persalinannya. Obat terpilih adalah heparin secara SC, hati-hati memberikan obat tokolitik pada pasien dengan penyakit jantung karena dapat menyebabkan edema paru atau iskemia miocard terutama pada kasus stenosis aorta atau mitral.
@   Komplikasi
Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat. (7)

 
 
PENDAHULUAN
Kehamilan  menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan fisiologis dari sistem kardiovaskuler yang akan dapat ditolerir dengan baik oleh wanita yang sehat, namun akan menjadi ancaman yang berbahaya bagi ibu hamil yang mempunyai kelainan jantung sebelumnya. Tanpa diagnosis yang akurat dan penanganan yang baik maka penyakit jantung dalam kehamilan dapat menimbulkan mortalitas ibu yang signifikan.1
Banyaknya perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil nampaknya mempersulit diagnosis kelainan jantung, misalnya bising jantung fisiologis sering ditemukan pada wanita hamil normal, demikian pula dengan  dyspnea  dan edem. Cunningham dkk menyatakan bahwa diagnosis penyakit jantung pada kehamilan jangan ditegakkan bila tidak ada kelainan yang ditemukan sebaliknya jangan gagal dan terlambat menegakkan diagnosis bila memang ada kelainan. Martin dkk (1999) melaporkan bahwa kelainan jantung merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak pada wanita usia 25 – 44 tahun.2
Koonin dkk (1997) melaporkan penyakit jantung menjadi penyebab dari 5,6% kematian maternal di Amerika Serikat antara tahun 1987 – 1990. Di RS. Hasan Sadikin angka kematian ibu karena kelainan jantung  pada tahun 1994 – 1998 sebesar 5,4 % ( 2 dari 37 kasus), sedang di RSCM pada tahun 2001 penyakit jantung menyebabkan 10,3% kematian ibu dan merupakan penyebab kematian terbanyak setelah preeklamsi/eklamsi dan perdarahan postpartum.2-4
Risiko kematian maternal  akan meningkat sampai 25 – 50% pada kasus-kasus dengan hipertensi pulmonal, coartasio aorta, sindroma Marfan yang mengalami komplikasi. Namun penanganan prenatal, intrapartum dan post partum yang baik dapat memberikan hasil yang memuaskan.  Silversides dkk (2002) di Kanada tidak menemukan satupun kasus kematian maternal dari 74 ibu hamil dengan stenosis mitral rematik.4, 5
PERUBAHAN HEMODINAMIK DALAM KEHAMILAN
            Hemodinamik menggambarkan hubungan antara tekanan darah, curah jantung dan resistensi vaskuler. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara tidak langsung dengan auskultasi atau secara langsung dengan kateter intra-arterial. Curah jantung dapat diukur dengan teknik pengenceran melalui vena sentral, teknik doppler, ekokardiografi dua dimensi atau dengan impedansi elektrik. Resistensi perifer diukur dengan memakai hukum Ohm yaitu :1
RPT = TAR x 80
               CO
RPT = resistensi perifer total (dyne*sec*cm-5)
TAR = tekanan arteri rata-rata (mmHg)
CO = curah jantung (L/menit)
Curah jantung merupakan hasil perkalian stroke volume dan denyut jantung. Denyut jantung dan stroke volume meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Setelah 32 minggu, stroke volume menurun dan curah jantung sangat tergantung pada denyut jantung. Resistensi vaskuler menurun pada trimester pertama dan awal trimester kedua. Denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung akan meningkat pada saat ada kontraksi uterus. Jadi tiga perubahan hemodinamik utama yang terjadi dalam masa kehamilan adalah : peningkatan curah jantung, peningkatan denyut jantung dan penurunan resistensi perifer.1, 2
            Segera setelah persalinan darah dari uterus akan kembali ke sirkulasi sentral. Pada kehamilan normal, mekanisme kompensasi ini akan melindungi ibu dari efek hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan post partum, namun bila ada kelainan jantung maka sentralisasi darah yang akut ini akan meningkatkan tekanan pulmoner dan terjadi kongesti paru. Dalam dua minggu pertama post partum  terjadi mobilisasi cairan ekstra vaskuler dan diuresis. Pada wanita dengan stenosis katup mitral dan kardiomiopati sering terjadi dekompensasi jantung pada masa mobilisasi cairan post partum. Curah jantung biasanya akan kembali normal setelah 2 minggu post partum.1, 2
            Takikardia akan mengurangi pengisian ventrikel kiri, mengurangi perfusi pembuluh darah koroner pada saat diastol dan secara simultan kemudian meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardium. Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya iskemia miokard.  Tiga perubahan hemodinamik yang berhubungan dengan penanganan penyakit jantung adalah : peningkatan curah jantung, peningkatan denyut jantung dan penurunan resistensi vaskuler.1, 2
            Pada awal kehamilan terjadi ekspansi aliran darah ginjal dan peningkatan laju filtrasi glomerulus. Natrium yang difiltrasi meningkat hampir 50%. Meskipun perubahan-perubahan  fisiologis ini akan meningkatkan pengeluaran natrium dan air terjadi pula peningkatan volume darah sebesar 40-50%. Sistem renin angiotensin akan diaktifkan dan konsentrasi aldosteron dalam plasma akan meningkat. 1, 2
Penambahan volume plasma akan menyebabkan penurunan hematokrit dan   merangsang hematopoesis. Massa sel-sel darah merah akan bertambah dari 18 % menjadi 25% tergantung pada cadangan besi tiap individu. Keadaan “anemia fisiologis” ini biasanya tidak menyebabkan komplikasi pada jantung ibu, namun anemia yang lebih berat akan meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan terjadinya takikardia. Mikrositosis akibat defisiensi besi dapat memperburuk perfusi pada sistem mikrosirkulasi penderita polisitemia yang berhubungan dengan penyakit jantung sianotik  sebab sel-sel darah merah yang mikrositik sedikit yang dirubah. Keadaan ini membutuhkan suplai besi dan asam folat.1, 5
Kadar albumin serum akan menurun 22 % meskipun massa albumin intravaskuler bertambah 20% akibatnya terjadi  penurunan tekanan onkotik serum dari 20 mmHg menjadi 19 mmHg. Pada kehamilan normal balans cairan intravaskuler dipertahankan oleh penurunan tekanan onkotik intertitial, namun bila terjadi peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri atau bila terjadi gangguan pada pembuluh darah paru maka akan terjadi edem paru yang dini.1




DIAGNOSIS
            Kebanyakan wanita dengan kelainan jantung telah terdiagnosis sebelum kehamilan, misalnya pada mereka yang pernah menjalani operasi karena kelainan jantung kongenital maka akan mudah untuk mendapat informasi yang rinci. Sebaliknya penyakit jantung  pertama kali didiagnosis saat kehamilan bila ada gejala yang dipicu oleh peningkatan kebutuhan jantung.1
            Gejala klasik penyakit jantung adalah : palpitasi, sesak nafas, dan nyeri dada. Berhubung karena gejala ini juga berhubungan dengan kehamilan normal maka perlu melakukan anamnesis yang cermat untuk menentukan apakah gejala ini sudah tidak berhubungan dengan kehamilan normal. Bising sistolik dapat ditemukan pada 80% wanita hamil, umumnya berhubungan dengan peningkatan volume aorta dan arteri pulmonalis. Tipe bising ini adalah derajat 1 atau 2,  midsistolik, paling keras pada basal jantung, tidak berhubungan dengan kelainan fisik yang lain. Pada pasien dengan bising sistolik  akan terdengar pemisahan bunyi jantung dua yang keras. Setiap bising diastolik dan bising sistolik yang lebih keras dari derajat 3/6 atau menjalar ke daerah karotis harus dianggap sebagai patologis. Pada wanita yang diduga mengalami kelainan jantung maka perlu dilakukan evaluasi yang cermat terhadap denyut vena jugularis, sianosis pada daerah perifer, clubbing dan ronki paru.1, 6
            Pemeriksaan diagnostik lanjut perlu dilakukan pada wanita hamil yang mempunyai : riwayat kelainan jantung, gejala yang melebihi kehamilan normal, bising patologi, tanda kegagalan jantung pemeriksaan fisik atau desaturasi oksigen arteri tanpa kelainan paru. Pemeriksaan yang paling tepat untuk menilai wanita hamil dengan dugaan kelainan jantung adalah ekokardiografi transtorasik. Pemeriksaan radiografi paru hanya bermanfaat pada dugaan adanya kegagalan jantung. Pemeriksaan elektokardiografi (EKG) nampaknya tidak spesifik. Bila ada gejala aritmia jantung yang menetap maka perlu dilakukan monitor EKG selama 24 jam. Kateterisasi jantung jarang diperlukan untuk membuat diagnosis penyakit jantung kongenital atau kelainan katup jantung, namun pemeriksaan ini bermanfaat bila ada gejala penyakit jantung koroner akut selama kehamilan sebab mempunyai paparan radiasi yang kecil sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih dini dan dapat dilakukan revaskularisasi untuk mencegah infark miokard.1, 7
Klasifikasi penyakit jantung (status fungsional) berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan oleh New York Heart Association pada tahun 1979, sebagai berikut :2
Klas / derajat I    : Aktivitas biasa tidak terganggu.
Klas / derajat II   : Aktivitas fisik terbatas, namun tidak ada gejala saat istirahat.
Klas / derajat III :Aktivitas ringan sehari-hari terbatas, timbul sesak atau nyeri, palpitasi pada aktifitas yang ringan.
Klas / derajat IV : Gejala timbul pada waktu istirahat, dan terdapat gejala gagal jantung.

Tabel 1. Beberapa indikator klinik dari penyakit jantung dalam kehamilan (dikutip dari kepustakaan 2)

Gejala
Dyspnea yang progresif atau orthopnea
Batuk pada malam hari
Hemoptisis
Sinkop
Nyeri dada
Tanda-tanda klinik
Sianosis
Clubbing pada jari-jari
Distensi vena di daerah leher yang menetap
Bising sistolik derajat 3/6 atau lebih
Bising diastolik
Kardiomegali
Aritmia persisten
Terpisahnya bunyi jantung dua yang  persisten
Adanya kriteria hipertensi pulmonal






PENANGANAN
ANTEPARTUM
Penderita penyakit jantung harusnya dikonsulkan sebelum kehamilan karena mempertimbangkan risiko dari kehamilan, intervensi yang diperlukan dan potensi risiko  terhadap janin. Namun ada pula penderita yang tidak  terkoreksi terus hamil, pada keadaan ini keuntungan dan kerugian terminasi kehamilan atau melanjutkan kehamilan perlu dipertimbangkan dengan cermat. Keputusan untuk melanjutkan kehamilan harus mempertimbangkan dua hal penting yaitu : risiko medis dan  nilai seorang bayi bagi ibu tersebut dan pasangannya.6
Beberapa kelainan jantung dengan risiko kematian ibu  yang tinggi antara lain : sindroma Eisenmenger, hipertensi pulmonal dengan disfungsi ventrikel kanan dan sindroma Marfan dengan dilatasi aorta yang signifikan.1
            Penanganan penyakit jantung pada kehamilan ditentukan oleh kapasitas fungsional jantung. Pada semua wanita hamil, tetapi khususnya pada penderita penyakit jantung, pertambahan berat badan yang berlebihan, dan retensi cairan yang abnormal harus dicegah.1
            Memburuknya kondisi jantung dalam kehamilan sering terjadi secara samar namun membahayakan. Pada kunjungan rutin harus dilakukan pemeriksaan denyut jantung, pertambahan berat badan dan saturasi oksigen. Pertambahan berat badan yang berlebihan menandakan perlunya penanganan yang agresif. Penurunan saturasi oksigen biasanya akan mendahului gambaran radiologi (foto toraks) yang abnormal.1
Salah satu prosedur penatalaksanaan selama kehamilan adalah membatasi aktifitas fisik sehingga mengurangi beban sistem kardiovaskuler. Dianjurkan  tidak melakukan aktivitas fisik yang berat  untuk mempertahankan aliran darah uterus dan menjaga kesehatan janin.7
Daftar pertanyaan yang terstruktur (tentang gejala) di bawah ini membantu dokter untuk waspada terhadap perubahan kondisi.1
-          Berapa anak tangga yang dapat Anda daki dengan mudah ? – satu?, dua? atau tidak ada?
-          Dapatkah Anda berjalan satu blok ?
-          Dapatkah Anda tidur terlentang ?  - “Berapa bantal yang diperlukan untuk menyanggah?”
-          Apakah jantung Anda berdegup kencang ?
-          Apakah Anda merasakan nyeri dada ?
-          Pada saat latihan fisik ?
-          Kapan jantung Anda berdegup kencang ?
Pasien diharuskan melaporkan gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, khususnya bila ada demam. Kebanyakan penderita kelainan jantung juga berisiko untuk defisiensi besi sehingga diperlukan profilaksis dengan pemberian suplementasi besi dan asam folat yang dapat menurunkan kerja jantung.
American College of Obstetricians and Gynecologists (1992) menekankan empat konsep yang mempengaruhi penanganan, yaitu :2
1.    Peningkatan curah jantung dan volume plasma sebesar  50% terjadi pada awal trimester ketiga.
2.    Fluktuasi volume plasma dan curah jantung terjadi pada masa peripartum.
3.    Penurunan tahanan vaskuler sistemik mencapai titik terendah pada trimester kedua dan meningkat lagi sampai 20% di bawah normal pada akhir kehamilan.
4.    Bila memerlukan terapi antikoagulan digunakan derivat kumarin.

INTRAPARTUM
Persalinan untuk penderita kelainan jantung idealnya adalah singkat dan bebas nyeri. Induksi persalinan dilakukan bila serviks sudah matang. Kadang kala penderita penyakit jantung yang berat memerlukan pemantauan hemodinamik yang invasif dengan pemasangan kateter arteri dan arteri pulmonalis. Seksio sesaria dilakukan hanya atas indikasi medis.1, 6
Pemantauan ibu dan janin sebaiknya dikerjakan selama persalinan. Pemantauan EKG berkelanjutan selama persalinan sangat dianjurkan. Kateter Swan-Ganz sangat bermanfaat karena  dapat memberikan informasi akurat mengenai status cairan tubuh dan fungsi jantung kiri. Kateter Swan-Ganz memungkinkan pengukuran tekanan kapiler paru yang merupakan gambaran paling akurat dari hubungan antara volume darah dengan kapasitas vaskuler, serta hubungan antara tekanana vena sentral dengan output jantung.1, 6
Standar penanganan penderita kelainan jantung dalam masa persalinan adalah :1
1.    Diagnosis yang akurat
2.    Jenis persalinan berdasarkan pada indikasi obstetri
3.    Penanganan medis dimulai pada awal persalinan
a.    Hindari partus lama
b.    Induksi dilakukan bila serviks sudah matang
4.    Pertahankan stabilitas hemodinamik
a.    Pemantauan hemodinamik invasif bila diperlukan
b.    Mulai dengan keadaan hemodinamik yang sudah terkompensasi
c.    Penanganan yang spesifik tergantung pada kondisi  jantung.
5.    Cegah nyeri dan respons hemodinamik dengan pemberian analgesia epidural dengan narkotik dan teknik  dosis rendah lokal.
6.    Antibiotik profilaksis diberikan bila ada risiko endokarditis.
7.    Ibu tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.
8.    Hindari perdarahan dengan melakukan managemen aktif kala III dan penggantian cairan yang dini dan sesuai.
9.    Managemen cairan pada postpartum dini : sering diperlukan pemberian diuresis yang agresif  namun pelu hati-hati.

PUERPERALIS
            Persalinan dan masa puerperium merupakan periode  dengan risiko maksimum untuk pasien dengan kelainan jantung. Selama periode ini, pasien harus dipantau untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung, hipotensi dan aritmia. Perdarahan postpartum, anemia, infeksi dan tromboemboli merupakan komplikasi yang menjadi lebih serius  bila ada kelainan jantung.
Sangat penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada kala III. Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk menghindari penurunan tekanan darah yang mendadak. Alkaloid ergot seperti metil ergometrin tidak boleh dipakai karena obat ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena sentral dan hipertensi sementara.1, 7
            Dalam masa post partum diperlukan pengawasan yang cermat terhadap keseimbangan cairan. Dalam 24-72 jam terjadi perpindahan cairan ke sirkulasi sentral dan dapat menyebabkan kegagalan jantung. Perhatian harus diberikan kepada penderita yang tidak  mengalami diuresis spontan. Pada keadaan ini, bila ada penurunan saturasi oksigen yang dipantau dengan pulse oxymetri, biasanya menandakan adanya edema paru.1, 7
            Ambulasi dini sebaiknya dianjurkan pada periode post partum untuk mencegah terjadinya stasis dan pooling vena. Dianjurkan pemakaian stocking elastic karena dapat mengurangi risiko tromboemboli. 6
Walaupun beberapa klinikus tidak menganjurkan pasien penderita kelainan jantung untuk menyusui bayinya namun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk memberi ASI (air susu ibu) selama hidrasi yang adekuat dapat dipertahankan. Namun demikian ibu dianjurkan untuk tidak sepenuhnya tergantung pada ASI eksklusif tetapi juga memberikan susu formula kepada bayinya. Harus diperhatikan bahwa sebagian dari  obat-obat yang diberikan kepada ibu dalam masa peripartum dapat melewati ASI.6
Anjurkan pemakaian kontrasepsi dan metode kontrasepsi yang dipakai sebelum hamil perlu ditinjau kembali. Pemakaian kontrasepsi yang tepat dapat merupakan terapi adjuvant bagi penderita kelainan jantung sebaliknya kontrasepsi yang tidak sesuai dapat mengancam jiwanya. Kebanyakan penderita dapat memakai kontrasepsi seperti wanita postpartum normal, namun sebagian yang dengan hipertensi pulmonal, sianosis, memakai antikoagulan karena operasi penggantian katup, kegagalan jantung atau transplantasi jantung harus mendapat perhatian yang cermat.  Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak diindikasikan bagi pasien yang berisiko untuk endokarditis misalnya yang menjalani transplantasi jantung  dan memerlukan terapi immunosupresi, ada riwayat endokarditis, memakai katup protese atau mendapat terapi antikoagulan jangka panjang. Bila akan dilakukan sterilisasi tuba postpartum setelah persalinan pervaginam maka sebaiknya prosedur ini ditunda sampai jelas bahwa ibu dalam keadaan tidak demam, tidak anemia dan terbukti bahwa dia dapat bergerak tanpa ada tanda-tanda distres.6, 7
            Respons kardiovaskuler baru akan kembali normal setelah 7 bulan postpartum. Penderita disfungsi ventrikel kiri karena kardiomiopati peripartum memerlukan pemeriksaaan ekokardiografi tiap 3 bulan. Setelah keluar dari rumah sakit penderita perlu memeriksakan diri pada dokter obgin dan kardiolog.

KELAINAN JANTUNG BERISIKO RENDAH TERHADAP IBU HAMIL
ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD)
            Atrial septal defect (ASD) merupakan kelainan jantung kongenital yang paling sering ditemukan dalam kehamilan dan umumnya asimptomatik. Pada pemeriksaan tampak tanda yang khas berupa dorongan ventrikel kanan dan bising sistolik yang keras pada tepi sternum kiri, dan bunyi jantung kedua yang terpisah. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) tampak hipertrofi ventrikel kanan dan right bundle branch block dengan aksis jantung normal. Pada pemeriksaan foto toraks tampak peningkatan vaskularisasi paru dan pembesaran ruang jantung kanan. 1, 2, 5
            Biasanya perubahan pada kehamilan dapat ditolerir oleh penderita ASD kecuali peningkatan volume darah yang terjadi pada trimester kedua. Ada beberapa laporan mengenai terjadinya kegagalan jantung kongestif dan aritmia  pada  pasien-pasien ini. Kegagalan jantung kongestif merupakan indikasi untuk melakukan operasi untuk mengoreksi defek. Sebagian kecil penderita ASD kemudian mengalami hipertensi pulmonal dan sindroma Eisenmenger ( shunt balik dari kanan ke kiri karena tekanan arteri pulmonalis suprasistemik). Keadaan ini dapat membahayakan jiwa penderita sehingga perlu penanganan yang hati-hati dan serius.5

VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
            Pasien penderita VSD yang mencapai usia reproduksi umumnya mempunyai defek yang kecil sebab defek yang besar memerlukan koreksi pada masa kanak-kanak. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan getaran dan bising pada tepi sternum kiri, bunyi jantung pertama yang keras dan bunyi gemuruh diastol. Pada defek yang kecil pemeriksaan EKG umumnya nampak normal namun dapat pula tampak tanda hipertrofi ventrikel kiri dan kanan. Pada foto toraks pembesaran ventrikel kanan dan atrium kiri.2, 5
            Umumnya kehamilan dapat ditolerir oleh penderita VSD karena kehamilan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler yang mengurangi terjadinya shunt kiri – kanan. Morbiditas dan mortalitas meningkat bila terjadi hipertensi pulmoner dan sindroma Eisenmenger. Pada masa postpartum penderita VSD dengan hipertensi pulmonal berisiko untuk mengalami kegagalan jantung ketika terjadi penurunan tekanan darah dan volume darah yang sesaat sehingga menyebabkan shunt terbalik.5

PATENT DUCTUS ARTERIOSUS
            Dengan makin majunya teknik operasi jantung anak maka kasus ini sudah jarang ditemukan pada orang dewasa. Kebanyakan penderita asimptomatik kecuali bila terjadi komplikasi hipertensi pulmonal. Pada pemeriksaan fisik terdengar bising pada interkosta II. Hipertrofi ventrikel kanan dan kiri dapat terlihat pada pemeriksaan EKG, dan pada pemeriksaan foto toraks tampak hipervaskularisasi paru serta pembesaran ventrikel kiri dan atrium kiri. Seperti pada kelainan shunt yang lain maka pemeriksaan doppler dan ekokardiografi kontras bermanfaat untuk menentukan dimensi ruang dan mendeteksi shunt.2, 5
            Umumnya penderita dapat mentolerir perubahan pada kehamilan. Namun seperti lesi shunt kiri-kanan yang lain harus dilakukan penanganan yang baik untuk mencegah shunt balik yang terjadi karena hipotensi dan kehilangan darah postpartum. Morbiditas dan mortalitas akan meningkat bila terjadi hipertensi pulmonal.2, 5

REGURGITASI MITRAL
            Regurgitasi mitral mempunyai banyak penyebab, namun pada wanita muda penyebab tersering adalah rematik (selalu berhubungan dengan stenosis mitral). Tanda yang khas pada pemeriksaan fisik adalah bising holosistolik pada apeks jantung yang menjalar ke aksila dan pada pemeriksaan EKG tampak tanda pembesaran atrium kiri. Fibrilasi atrium jarang ditemukan kecuali bila atrium kiri sangat membesar.5
            Umumnya kehamilan dapat ditolerir dengan baik sebab pada kehamilan normal terjadi penurunan resistensi vaskuler yang tidak membebani ventrikel. Bila terjadi regurgitasi mitral yang berat akibat kongesti paru maka harus diberikan diuresis dan digoxin profilaksis.5

INSUFISIENSI AORTA
            Seperti pada regurgitasi mitral, insufisiensi aorta jarang ditemukan pada wanita usia reproduksi dan biasanya disebabkan oleh rematik, hampir selalu berhubungan dengan penyakit katup mitral. Penyebab insufisiensi yang jarang adalah sindroma Marfan dan pada pasien yang hamil perlu dilakukan evaluasi untuk menentukan apakah insufisiensi aorta yang tejadi disebabkan oleh sindroma Marfan.5
            Tanda khas pada pemeriksaan fisik adalah bising diastolik pada tepi atas sternum yang paling kuat terdengar pada posisi duduk dan saat akhir ekspirasi. Pada insufisiensi yang lama akan tampak gambaran pembesaran ventrikel kiri pada pemeriksaan EKG dan foto toraks. Penanganannya sama dengan regurgitasi mitral.1, 5

LESI KATUP TRIKUSPIDAL DAN PULMONAL.
            Regurgitasi trikuspidal merupakan hal yang sangat umum ditemukan pada kehamilan normal dan jarang menimbulkan dampak klinis kecuali bila regurgitasi trikuspidal yang berhubungan dengan anomali Ebstein yang akan meningkatkan morbiditas dalam kehamilan. Stenosis trikuspidal dan insufisiensi pulmonal jarang ditemukan dalam kehamilan dan hanya ada beberapa laporan saja mengenai kasus ini.5
            Stenosis pulmonal merupakan gambaran kelainan jantung kongenital yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari tetralogi Fallot. Pada pemeriksaan fisik gelombang “A” yang menonjol pada tekanan vena jugularis. Bising kresendo dan dekresendo biasa terdengar sepanjang daerah parasternal kiri atas. Gambaran EKG terlihat normal kecuali bila stenosis yang berat sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan dan deviasi aksis kanan. Pada pemeriksaan foto toraks tampak pembesaran ventrikel kanan dan tonjolan arteri pulmonalis.2, 5
            Kehamilan umumnya dapat ditolerir bahkan pada stenosis pulmonal yang tidak dikoreksi. Walaupun pemasangan balon valvuloplasty perkutaneus merupakan pengobatan terpilih namun bila terjadi kegagalan jantung yang refrakter selama kehamilan maka operasi merupakan tindakan yang lebih baik sebab pemasangan balon memberikan efek radiasi pada janin.5

KELAINAN JANTUNG YANG BERISIKO SEDANG TERHADAP IBU HAMIL
STENOSIS MITRAL
            Stenosis katup mitral hampir selalu berhubungan dengan penyakit jantung reumatik. Disfungsi katup akan terjadi seumur hidup. Kerusakan katup ini dipicu oleh episode demam rheuma yang berulang. Demam rheumatik sendiri merupakan respon imunologik terhadap infeksi streptococcus b hemolitik grup-A. Insiden penyakit ini dalam populasi dipengaruhi oleh kondisi kemiskinan.1
            Pasien dengan stenosis mitral asimptomatik mempunyai umur harapan hidup 10 tahun sekitar 80%, namun bila kemudian menjadi simtomatik akan berkurang menjadi 15%. Bila ada hipertensi pulmonal maka rata-rata harapan hidup kurang dari 3 tahun. Kematian terjadi karena edem paru yang progresif, kegagalan jantung kanan, emboli sistemik atau emboli paru.
            Stenosis katup mitral menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada saat diastol. Luas permukaan katup mitral yang normal sekitrar 4 – 5 cm2. Gejala pada saat aktifitas akan nampak bila luas  permukaan ini < 2,5 cm2. Gejala pada saat istirahat dipastikan akan timbul bila luas permukaan < 1,5 cm2. Curah jantung terbatas karena aliran darah yang relatif pasif selama diastol ; peningkatan arus balik dari vena akan menyebabkan kongesti paru. Takikardia relatif dalam masa kehamilan mengurangi pengisian ventrikel kiri dan selanjutnya mempengaruhi curah jantung dan meningkatkan kongesti paru.1
            Kelelahan dan sesak pada saat aktifitas merupakan gejala khas untuk stenosis mitral namun juga sering ditemukan pada kehamilan normal. Gejala lain berupa bising diastolik dan distensi vena jugularis sering luput dari perhatian. Pemeriksaan ekokardiografi diperlukan untuk menyingkirkan adanya stenosis mitral khususnya pada pasien dari kelompok  yang berisiko. Diagnosis ekokardiografi stenosis mitral didasarkan pada gambaran khas stenosis berupa katup yang mengalami kalsifikasi. Bila luas penampang katup kurang atau sama dengan 1,0 cm2 biasanya diperlukan penanganan farmakologi dalam kehamilan dan pemantauan hemodinamik yang invasif pada saat persalinan. Hipertensi pulmonal yang merupakan komplikasi yang memperburuk stenosis mitral dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ekokardiografi.1, 2
            Penanganan antepartum pada penderita stenosis mitral bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara upaya untuk meningkatkan curah jantung dan keterbatasan aliran darah yang melewati katup stenosis. Kebanyakan ibu hamil memerlukan diuresis berupa pemberian furosemid. Pemberian b-blocker akan menurunkan denyut jantung, meningkatkan aliran darah yang melewati katup dan menghilangkan kongesti paru.1, 5
            Wanita dengan riwayat penyakit katup rheuma yang berisiko untuk kontak dengan populasi yang mempunyai prevalensi tinggi untuk infeksi streptococcus harus mendapat profilaksis penicilllin G peros setiap hari atau benzathine penicillin setiap bulan. Pasien yang mengalami fibrilasi atrium dan riwayat emboli harus diterapi dengan antikoagulan.1
            Pada saat persalinan sering terjadi dekompensasi karena nyeri akan menginduksi takikardia. Kontraksi uterus meningkatkan aliran balik vena dan kemudian terjadi kongesti paru. Hemodinamik penderita dengan luas katup < 1 cm2 harus ditangani dengan bantuan kateter arteri pulmonalis. Denyut jantung dipertahankan dengan mengontrol nyeri dan pemberian b-blocker. Kala II diperpendek dengan persalinan forcep atau vakum rendah. Seksio sesaria dilakukan hanya atas indikasi obstetri. Pemberian diuresis yang progresif akan menurunkan kongesti paru dan desaturasi oksigen.1, 5

STENOSIS AORTA
            Stenosis aorta jarang ditemukan pada kehamilan karena kelainan ini sering ditemukan pada populasi yang lebih tua, namun penderita stenosis aorta yang mempuyai katup aorta bikuspidal dapat menjadi simptomatik pada usia 20- an dan 30-an. Stenosis aorta menandakan adanya obstruksi aliran darah yang keluar dari ventrikel kiri. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bising sistolik kresendo dan dekresendo pada tepi atas sternum, pada tipe yang berat bunyi jantung kedua tidak terdengar. Pada EKG tampak tanda hipertrofi ventrikel kiri dan pada foto toraks gambaran jantung membesar.1, 5
            Pada kasus yang berat mortalitas ibu dilaporkan sekitar 17%, risiko untuk mendapat bayi dengan kelainan jantung kongenital berkisar 17% - 26%, sehingga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ekokardiografi terhadap janin pada trimester kedua. Penanganan pada pasien terutama adalah tirah baring dan mempertahankan volume darah yang adekuat. Pada saat persalinan dilakukan pemantauan sentral dengan kateter Swan-Ganz dan cegah terjadinya hipotensi. Anestesi spinal dan epidural harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien stenosis berat karena bahaya hipotensi. Bila memungkinkan sebaiknya dilakukan koreksi stenosis sebelum kehamilan, namun juga telah dilaporkan penggantian katup aorta pada saat kehamilan yang memberikan hasil memuaskan. Valvuloplasty balon pada katup aorta telah berhasil dilakukan pada saat kehamilan dengan luaran maternal dan perinatal yang memuaskan.5

SINDROMA MARFAN
            Merupakan kelainan autosom dominan dengan defek sintesis kolagen yang mengenai mata, skelet, dan kardiovaskuler dengan derajat yang bervariasi. Gen yang terkena berlokasi di kromosom 15. Manifestasi kardiovaskuler berupa prolaps katup mitral dengan regurgitasi mitral, dilatasi aneurisma aorta yang berhubungan dengan regurgitasi aorta.5
            Kehamilan akan meningkatkan risiko ruptur aorta pada penderita sindroma Marfan. Morbiditas dan mortalitas tergantung pada apakah kelainan berupa dilatasi pangkal aorta atau kelainan katup. Bila diameter pangkal  aorta lebih dari 40 mm maka kematian dapat mencapai 50%, sebaliknya bila aorta tidak membesar dan katup tidak terkena maka kehamilan dapat mencapai aterm dengan morbiditas dan mortalitas maternal yang rendah. Penderita harus diberitahu mengenai bahaya ini dan mendapat pengawasan ketat terhadap gejala dan tanda diseksi aorta. Pemeriksaan ekokardiogram serial dilakukan selama kehamilan untuk menilai keadaan jantung khususnya pangkal aorta dan ada tidaknya regurgitasi. Obat beta-blocker secara selektif dapat menurunkan risiko dilatasi aorta yang progressif dengan menurunkan tekanan pulsatil pada dinding aorta.5

KELAINAN JANTUNG YANG BERISIKO TINGGI TERHADAP IBU HAMIL
SINDROMA EISENMENGER
            Pada sindroma ini terjadi hipertensi pulmonal yang mendekati tekanan sistemik menyebabkan aliran balik dari shunt kiri – kanan menjadi shunt kanan – kiri menyebabkan hipoksemia dan kematian. Pasien akan mengalami sianosis perifer, kegagalan jantung kongestif dan hemoptisis. Kelainan kongenital yang berupa shunt kiri – kanan seperti ASD, VSD atau PDA dengan hipertensi pulmonal progresif dapat menyebabkan terjadinya sindroma Eisenmenger. 2, 5
            Keadaan ini akan menyebabkan mortalitas ibu yang sangat tinggi (23 – 50%) yang dapat terjadi pada masa kehamilan atau periode postpartum. Penderita harus diberitahu mengenai risiko ini dan ditawari  untuk memilih  terminasi kehamilan atau melanjutkan kehamilannya. Bila penderita memilih untuk melanjutkan kehamilan maka penanganannya meliputi tirah baring secara ketat, pemberian oksigen kontinu, digoksin, pemantauan hemodinamik infasif pada periode peripartum, percepat kala II dengan persalinan forsep rendah. Penderita harus dirawat di rumah sakit. PaO2 ibu dipertahankan di atas 70% untuk menjamin oksigenasi janin yang adekuat.2, 5
            Berhubung karena tingginya kejadian pertumbuhan janin terhambat dan kematian janin maka direkomendasikan untuk melakukan pemantauan janin secara ketat dengan pemeriksaan USG serial dan NST dan atau pemeriksaan profil biofisik. Periode peripartum merupakan periode yang genting berhubung karena terjadi  perubahan volume darah yang cepat dan kemungkinan perdarahan. Penderita harus diawasi di rumah sakit selama seminggu sesudah persalinan sebab risiko kematian ibu meningkat pada periode ini.5

HIPERTENSI PULMONAL PRIMER
            Hipertensi pulmonal primer merupakan keadaan dimana terjadi penebalan abnormal dan konstriksi tunika media arteri pulmonalis yang menyebabkan fibrosis tunika intima dan pembentukan trombus. Penyebabnya tidak diketahui, ditemukan pada wanita muda dan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang progresif. Gejalanya berupa sesak, fatique, palpitasi dan kadangkala sinkop.5
            Pada pemeriksaan fisik tampak penonjolan gelombang “A” pada vena jugularis, desakan ventrikel kanan dan biasanya bunyi jantung kedua yang dapat dipalpasi. Pada tahap akhir akan tampak tanda-tanda kegagalan jantung kanan berupa peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali dan edem. Pada pemeriksaan EKG dan foto toraks tampak pembesaran ventrikel kanan dan deviasi aksis jantung ke kanan. 5
            Angka kematian maternal pada keadaan ini dapat melebihi 40%, bahkan kematian tetap tinggi pada pasien yang asimptomatik atau dengan gejala yang ringan pada saat sebelum hamil. Angka kematian janin dan neonatal pada kasus ini juga tinggi. Penderita sering datang pada trimester kedua saat perubahan hemodinamik yang maksimal dan sering dengan gejala kegagalan jantung kanan. Berhubung karena tingginya angka kematian maternal maka penderita dianjurkan untuk tidak hamil, dan bila hamil ditawarkan untuk menjalani terminasi kehamilan pada trimester pertama. Namun bila penderita memilih untuk tetap melanjutkan kehamilannya maka harus dilakukan tirah baring, rawat inap pada trimester ketiga, pengobatan dini terhadap gejala kegagalan jantung kongestif dengan digoksin dan diuretik  dan lakukan pemantauan hemodinamik invasif selama persalinan. Pemberian antikoagulan dapat memperbaiki prognosis penyakit ini. Nifedipin dosis tinggi peros dan pemberian adenosin intravena bermanfaat untuk menurunkan resistensi pembuluh darah pulmoner.5, 6
KARDIOMIOPATI PERIPARTUM
            Kardiomiopati peripartum menyebabkan kegagalan jantung pada bulan terakhir kehamilan atau pada 6 bulan pertama postpartum tanpa penyebab yang jelas. Di Amerika Serikat insidennya bervariasi dari 1 per 4000 kelahiran sampai 1 per 1500 kelahiran. Puncaknya terjadi pada bulan kedua postpartum, meningkat pada ibu yang berusia tua, multipara dan kulit hitam. Angka kematian ibu bervariasi dari 25% – 50%. 1, 5
            Walaupun penyebabnya belum diketahui namun diduga karena hipertensi, infeksi virus, reaksi imunologik dan defisiensi vitamin. Di Nigeria dilaporkan insiden yang lebih tinggi karena ibu postpartum mengkonsumsi garam dalam jumlah yang besar.5
            Gejala klinis yang timbul berupa orthopnea, dyspnea, kelemahan, palpitasi, edem perifer dan kadang hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali, irama gallop, distensi vena-vena di daerah leher. Pemeriksaan EKG tampak gambaran segmen ST yang abnormal dan perubahan gelombang T. Kardiomegali dan kongesti vena pulmonal merupakan tanda khas pada pemeriksaan foto toraks. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk menyingkirkan adanya kelainan katup.1, 5
            Pengobatan berupa tirah baring, hindari aktifitas fisik, pengobatan kegagalan jantung kongestif dengan digoksin dan diuretik. Berhubung karena meningkatnya risiko tromboembolik pada pasien ini maka perlu dipertimbangkan pemberian heparin.5
            Prognosis tergantung pada perjalanan penyakit saat postpartum. Bila  kardiomegali menetap maka prognosisnya jelek, sebaliknya bila ukuran jantung kembali normal dalam 6-12 bulan menandakan prognsosis yang lebih baik. Penderita yang refrakter dianjurkan untuk menjalani transplantasi jantung dan sudah ada laporan mengenai keberhasilan persalinan sesudah transplantasi.5




DAFTAR PUSTAKA
1.         Easterling TR, Otto C. Heart disease. In: Gabbe, editor. Obstetrics-normal and problem pregnancies. 4 th ed. London: Churchill Livingstone Inc; 2002. p. 1005-30.
2.         Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Cardiovascular diseases. In: Williams obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p. 1181-203.

DAFTAR PUSTAKA

3)            Gray, Huon H [et.al..]. 2009. Kardiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga
7)            Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP
8)            Norwitz, Errol dan John O Schorge. 2008. At A Glance Obstetri  & Ginekologi. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar