IBU HAMIL DENGAN PENYAKIT JANTUNG
@
Tanda dan
Gejala
Lelah,
penurnan tolernsi latihan, dispnea, ortopnea, pusing kadang sinkop, takikardi,
tekanan denyut lebar, edema perifer, tekenan pada vena jugularis yang
meningkat. (3)
@
Etiologi
Lesi kongenital bertanggung jawab pada > 50 %
penyakit jantung dalam kehamilan.
Penyebab
lainnya antara lain : arteri koroner, hipertensi, disfungsi tiroid (8)
a. Kelas
I
s Tanpa
pembatasan kegiatan fisik
s Tanpa
gejala penyakit jantung pada kegiatan biasa
b. Kelas
II
§ Sedikit
pembatasan kegiatan fisik
§ Saat
istirahat tidak ada keluhan
§ Pada
kegiatan fisik biasa timbul gejala isufisiensi jantung seperti: kelelahan,
jantung berdebar (palpitasi cordis), sesak nafas atau angina
pectoris
c. Kelas
III
F
Banyak pembatasan dalam kegiatan fisik
F
Saat istirahat tidak ada keluhan
F
Pada aktifitas fisik ringan sudah menimbulkan
gejala insufisiensi jantung
d. Kelas
IV
- Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
- Tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
@
Penanggulangan
Bagi
penderita yang penyakitnya tidak berat dan tidak mempunyai riwayat obstetric
buruk cukup dikuasai dengan diet saja dan diharapkan dapat lahir aterm. Lebih
dari itu, sebaiknya dilakukan induksi persalinan karena prognosis jadi lebih
buruk. Jika diabetes lebih berat dan memerlukan pengobatan insulin, sebaiknya
kehamilan diakhiri lebih dini sekitar pada umur kehamilan 36 – 38 minggu. Dan
jika disertai komplikasi maka diakhiri lebih dini lagi dengan induksi maupun
sectio Caesarea.
Secara
garis besar penatalaksanaan mencakup mengurangi beban kerja jantung dengan
tirah baring, (9)
Penatalaksanaan
dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu :
Q
Kelas I
Tidak
memerlukan pengobatan tambahan
Q
Kelas II
Umumnya
tidak memerlukan pengobatan tambahan, hanya harus menghindari aktifitas yang
berlebihan, terutama pada UK
28-32 minggu. Pasien dirawat bila keadaan memburuk.
Kedua
kelas ini dapat meneruskan kehamilan sampai cukup bulan dan melahirkan
pervaginam, namun harus diawasi dengan ketat. Pasien harus tidur malam cukup
8-10 jam, istirahat baring minimal setengah jam setelah makan, membatasi
masuknya cairan (75 mll/jam) diet tinggi protein,
rendah garam dan membatasi kegiatan. Lakukan ANC dua minggu sekali dan seminggu
sekali setelah 36 minggu. Rawat pasien di RS sejak 1 minggun sebelum waktu
kelahiran. Lakukan persalinan pervaginam kecuali terdapat kontra indikasi obstetric. Metode anastesi terpilih adalah epidural
Kala
persalinan biasanya tidak berbahaya. Lakukan pengawasan dengan ketat.
Pengawasan kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit.
Pada
kala II dapat spontan bila tidak ada gagal jantung. Bila berlangsung 20 menit dan
ibu tidak dapat dilarang meneran akhiri dengan ekstraksi cunam atau vacum
dengan segera
Tidak
diperbolehkan memakai ergometrin karena kontraksi uterus yang bersifat tonik
akan menyebabkan pengembalian darah ke sirkulasi sistemik dala jumlah besar
Q
Kelas III
Dirawat
di RS selam hamil terutama pada UK
28 minggu dapat diberikan diuretic
Q
Kelas IV
Harus dirawat di RS
Kedua
kelas ini tidak boleh hamil karena resiko terlalu berat. Pertimbangkan abortus
terapeutik pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Jika kehamilan dipertahankan
pasien harus terus berbaring selama hamil dan nifas. Bila terjadi gagal jantung
mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai anak lahir. Dengan tirah
baring, digitalis dan diuretic biasanya gejala gagal jantung akan cepat hilang.
Pemberian
oksitosin cukup aman. Umumnya persalinan pervaginam lebih aman namun kala II
harus diakhiri dengan cunam atau vacuum. Setelah kala III selesai, awasi dengan
ketat, untuk menilai terjadinya decompensasi atau edema paru. Laktasi dilarang
bagi pasien kelas III dan IV.
Operasi
pada jantung untuk memperbaiki fungsi sebaiknya dilakukan sebelum hamil. Pada
wanita hamil saat yang paling baik adalah trimester II namun berbahaya bagi
bayinya karena setelah operasi harus diberikan obat anti pembekuan terus menerus
dan akan menyebabkan bahaya perdarahan pada persalinannya. Obat terpilih adalah
heparin secara SC, hati-hati memberikan obat tokolitik pada pasien dengan
penyakit jantung karena dapat menyebabkan edema paru atau iskemia miocard
terutama pada kasus stenosis aorta atau mitral.
@
Komplikasi
Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat. (7)
Pada ibu dapat terjadi : gagal jantung kongestif, edema paru, kematian, abortus.
Pada janin dapat terjadi : prematuritas, BBLR, hipoksia, gawat janin, APGAR score rendah, pertumbuhan janin terhambat. (7)
PENDAHULUAN
Kehamilan menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan
fisiologis dari sistem kardiovaskuler yang akan dapat ditolerir dengan baik
oleh wanita yang sehat, namun akan menjadi ancaman yang berbahaya bagi ibu
hamil yang mempunyai kelainan jantung sebelumnya. Tanpa diagnosis yang akurat
dan penanganan yang baik maka penyakit jantung dalam kehamilan dapat
menimbulkan mortalitas ibu yang signifikan.1
Banyaknya
perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil nampaknya mempersulit
diagnosis kelainan jantung, misalnya bising jantung fisiologis sering ditemukan
pada wanita hamil normal, demikian pula dengan
dyspnea dan edem. Cunningham dkk
menyatakan bahwa diagnosis penyakit jantung pada kehamilan jangan ditegakkan
bila tidak ada kelainan yang ditemukan sebaliknya jangan gagal dan terlambat
menegakkan diagnosis bila memang ada kelainan. Martin dkk (1999) melaporkan
bahwa kelainan jantung merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak pada wanita
usia 25 – 44 tahun.2
Koonin
dkk (1997) melaporkan penyakit jantung menjadi penyebab dari 5,6% kematian
maternal di Amerika Serikat antara tahun 1987 – 1990. Di RS. Hasan Sadikin
angka kematian ibu karena kelainan jantung
pada tahun 1994 – 1998 sebesar 5,4 % ( 2 dari 37 kasus), sedang di RSCM
pada tahun 2001 penyakit jantung menyebabkan 10,3% kematian ibu dan merupakan
penyebab kematian terbanyak setelah preeklamsi/eklamsi dan perdarahan
postpartum.2-4
Risiko
kematian maternal akan meningkat sampai
25 – 50% pada kasus-kasus dengan hipertensi pulmonal, coartasio aorta, sindroma
Marfan yang mengalami komplikasi. Namun penanganan prenatal, intrapartum dan
post partum yang baik dapat memberikan hasil yang memuaskan. Silversides dkk (2002) di Kanada tidak
menemukan satupun kasus kematian maternal dari 74 ibu hamil dengan stenosis
mitral rematik.4,
5
PERUBAHAN
HEMODINAMIK DALAM KEHAMILAN
Hemodinamik menggambarkan hubungan
antara tekanan darah, curah jantung dan resistensi vaskuler. Pengukuran tekanan
darah dapat dilakukan secara tidak langsung dengan auskultasi atau secara
langsung dengan kateter intra-arterial. Curah jantung dapat diukur dengan
teknik pengenceran melalui vena sentral, teknik doppler, ekokardiografi dua dimensi
atau dengan impedansi elektrik. Resistensi perifer diukur dengan memakai hukum
Ohm yaitu :1
RPT
= TAR x 80
CO
RPT =
resistensi perifer total (dyne*sec*cm-5)
TAR =
tekanan arteri rata-rata (mmHg)
CO = curah
jantung (L/menit)
Curah
jantung merupakan hasil perkalian stroke volume dan denyut jantung. Denyut
jantung dan stroke volume meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan.
Setelah 32 minggu, stroke volume menurun dan curah jantung sangat tergantung
pada denyut jantung. Resistensi vaskuler menurun pada trimester pertama dan
awal trimester kedua. Denyut jantung, tekanan darah dan curah jantung akan
meningkat pada saat ada kontraksi uterus. Jadi tiga perubahan hemodinamik utama
yang terjadi dalam masa kehamilan adalah : peningkatan curah jantung,
peningkatan denyut jantung dan penurunan resistensi perifer.1, 2
Segera setelah persalinan darah dari
uterus akan kembali ke sirkulasi sentral. Pada kehamilan normal, mekanisme
kompensasi ini akan melindungi ibu dari efek hemodinamik yang terjadi akibat
perdarahan post partum, namun bila ada kelainan jantung maka sentralisasi darah
yang akut ini akan meningkatkan tekanan pulmoner dan terjadi kongesti paru.
Dalam dua minggu pertama post partum
terjadi mobilisasi cairan ekstra vaskuler dan diuresis. Pada wanita
dengan stenosis katup mitral dan kardiomiopati sering terjadi dekompensasi
jantung pada masa mobilisasi cairan post partum. Curah jantung biasanya akan
kembali normal setelah 2 minggu post partum.1, 2
Takikardia akan mengurangi pengisian
ventrikel kiri, mengurangi perfusi pembuluh darah koroner pada saat diastol dan
secara simultan kemudian meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardium.
Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya
iskemia miokard. Tiga perubahan
hemodinamik yang berhubungan dengan penanganan penyakit jantung adalah :
peningkatan curah jantung, peningkatan denyut jantung dan penurunan resistensi
vaskuler.1,
2
Pada awal kehamilan terjadi ekspansi
aliran darah ginjal dan peningkatan laju filtrasi glomerulus. Natrium yang
difiltrasi meningkat hampir 50%. Meskipun perubahan-perubahan fisiologis ini akan meningkatkan pengeluaran
natrium dan air terjadi pula peningkatan volume darah sebesar 40-50%. Sistem
renin angiotensin akan diaktifkan dan konsentrasi aldosteron dalam plasma akan
meningkat. 1, 2
Penambahan
volume plasma akan menyebabkan penurunan hematokrit dan merangsang hematopoesis. Massa sel-sel darah
merah akan bertambah dari 18 % menjadi 25% tergantung pada cadangan besi tiap
individu. Keadaan “anemia fisiologis” ini biasanya tidak menyebabkan komplikasi
pada jantung ibu, namun anemia yang lebih berat akan meningkatkan kerja jantung
dan menyebabkan terjadinya takikardia. Mikrositosis akibat defisiensi besi
dapat memperburuk perfusi pada sistem mikrosirkulasi penderita polisitemia yang
berhubungan dengan penyakit jantung sianotik
sebab sel-sel darah merah yang mikrositik sedikit yang dirubah. Keadaan
ini membutuhkan suplai besi dan asam folat.1, 5
Kadar
albumin serum akan menurun 22 % meskipun massa albumin intravaskuler bertambah
20% akibatnya terjadi penurunan tekanan
onkotik serum dari 20 mmHg menjadi 19 mmHg. Pada kehamilan normal balans cairan
intravaskuler dipertahankan oleh penurunan tekanan onkotik intertitial, namun
bila terjadi peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri atau bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah paru maka akan terjadi edem paru yang dini.1
DIAGNOSIS
Kebanyakan wanita dengan kelainan
jantung telah terdiagnosis sebelum kehamilan, misalnya pada mereka yang pernah
menjalani operasi karena kelainan jantung kongenital maka akan mudah untuk
mendapat informasi yang rinci. Sebaliknya penyakit jantung pertama kali didiagnosis saat kehamilan bila
ada gejala yang dipicu oleh peningkatan kebutuhan jantung.1
Gejala klasik penyakit jantung
adalah : palpitasi, sesak nafas, dan nyeri dada. Berhubung karena gejala ini
juga berhubungan dengan kehamilan normal maka perlu melakukan anamnesis yang
cermat untuk menentukan apakah gejala ini sudah tidak berhubungan dengan
kehamilan normal. Bising sistolik dapat ditemukan pada 80% wanita hamil,
umumnya berhubungan dengan peningkatan volume aorta dan arteri pulmonalis. Tipe
bising ini adalah derajat 1 atau 2,
midsistolik, paling keras pada basal jantung, tidak berhubungan dengan
kelainan fisik yang lain. Pada pasien dengan bising sistolik akan terdengar pemisahan bunyi jantung dua
yang keras. Setiap bising diastolik dan bising sistolik yang lebih keras dari
derajat 3/6 atau menjalar ke daerah karotis harus dianggap sebagai patologis.
Pada wanita yang diduga mengalami kelainan jantung maka perlu dilakukan
evaluasi yang cermat terhadap denyut vena jugularis, sianosis pada daerah
perifer, clubbing dan ronki paru.1, 6
Pemeriksaan diagnostik lanjut perlu
dilakukan pada wanita hamil yang mempunyai : riwayat kelainan jantung, gejala
yang melebihi kehamilan normal, bising patologi, tanda kegagalan jantung
pemeriksaan fisik atau desaturasi oksigen arteri tanpa kelainan paru.
Pemeriksaan yang paling tepat untuk menilai wanita hamil dengan dugaan kelainan
jantung adalah ekokardiografi transtorasik. Pemeriksaan radiografi paru hanya bermanfaat
pada dugaan adanya kegagalan jantung. Pemeriksaan elektokardiografi (EKG)
nampaknya tidak spesifik. Bila ada gejala aritmia jantung yang menetap maka
perlu dilakukan monitor EKG selama 24 jam. Kateterisasi jantung jarang
diperlukan untuk membuat diagnosis penyakit jantung kongenital atau kelainan
katup jantung, namun pemeriksaan ini bermanfaat bila ada gejala penyakit
jantung koroner akut selama kehamilan sebab mempunyai paparan radiasi yang
kecil sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih dini dan dapat dilakukan
revaskularisasi untuk mencegah infark miokard.1, 7
Klasifikasi
penyakit jantung (status fungsional) berdasarkan klasifikasi yang ditetapkan
oleh New York Heart Association pada tahun 1979, sebagai berikut :2
Klas / derajat I : Aktivitas biasa tidak terganggu.
Klas / derajat II : Aktivitas fisik terbatas, namun tidak ada
gejala saat istirahat.
Klas / derajat III
:Aktivitas ringan sehari-hari terbatas, timbul sesak atau nyeri, palpitasi pada
aktifitas yang ringan.
Klas / derajat IV : Gejala timbul pada
waktu istirahat, dan terdapat gejala gagal jantung.
Tabel 1. Beberapa indikator klinik dari penyakit jantung
dalam kehamilan
(dikutip dari kepustakaan 2)
Gejala
Dyspnea yang progresif atau orthopnea
Batuk pada malam hari
Hemoptisis
Sinkop
Nyeri dada
|
Tanda-tanda
klinik
Sianosis
Clubbing
pada jari-jari
Distensi vena di daerah leher yang menetap
Bising sistolik derajat 3/6 atau lebih
Bising diastolik
Kardiomegali
Aritmia persisten
Terpisahnya bunyi jantung dua yang persisten
Adanya kriteria hipertensi pulmonal
|
PENANGANAN
ANTEPARTUM
Penderita
penyakit jantung harusnya dikonsulkan sebelum kehamilan karena mempertimbangkan
risiko dari kehamilan, intervensi yang diperlukan dan potensi risiko terhadap janin. Namun ada pula penderita yang
tidak terkoreksi terus hamil, pada
keadaan ini keuntungan dan kerugian terminasi kehamilan atau melanjutkan
kehamilan perlu dipertimbangkan dengan cermat. Keputusan untuk melanjutkan
kehamilan harus mempertimbangkan dua hal penting yaitu : risiko medis dan nilai seorang bayi bagi ibu tersebut dan
pasangannya.6
Beberapa
kelainan jantung dengan risiko kematian ibu
yang tinggi antara lain : sindroma Eisenmenger, hipertensi pulmonal
dengan disfungsi ventrikel kanan dan sindroma Marfan dengan dilatasi aorta yang
signifikan.1
Penanganan penyakit jantung pada kehamilan ditentukan
oleh kapasitas fungsional jantung. Pada semua wanita hamil, tetapi khususnya
pada penderita penyakit jantung, pertambahan berat badan yang berlebihan, dan
retensi cairan yang abnormal harus dicegah.1
Memburuknya kondisi jantung dalam
kehamilan sering terjadi secara samar namun membahayakan. Pada kunjungan rutin
harus dilakukan pemeriksaan denyut jantung, pertambahan berat badan dan
saturasi oksigen. Pertambahan berat badan yang berlebihan menandakan perlunya
penanganan yang agresif. Penurunan saturasi oksigen biasanya akan mendahului
gambaran radiologi (foto toraks) yang abnormal.1
Salah
satu prosedur penatalaksanaan selama kehamilan adalah membatasi aktifitas fisik
sehingga mengurangi beban sistem kardiovaskuler. Dianjurkan tidak melakukan aktivitas fisik yang berat untuk mempertahankan aliran darah uterus dan
menjaga kesehatan janin.7
Daftar
pertanyaan yang terstruktur (tentang gejala) di bawah ini membantu dokter untuk
waspada terhadap perubahan kondisi.1
-
Berapa
anak tangga yang dapat Anda daki dengan mudah ? – satu?, dua? atau tidak ada?
-
Dapatkah
Anda berjalan satu blok ?
-
Dapatkah
Anda tidur terlentang ? - “Berapa bantal
yang diperlukan untuk menyanggah?”
-
Apakah
jantung Anda berdegup kencang ?
-
Apakah
Anda merasakan nyeri dada ?
-
Pada
saat latihan fisik ?
-
Kapan
jantung Anda berdegup kencang ?
Pasien
diharuskan melaporkan gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas, khususnya
bila ada demam. Kebanyakan penderita kelainan jantung juga berisiko untuk
defisiensi besi sehingga diperlukan profilaksis dengan pemberian suplementasi
besi dan asam folat yang dapat menurunkan kerja jantung.
American
College of Obstetricians and Gynecologists (1992) menekankan empat konsep yang
mempengaruhi penanganan, yaitu :2
1.
Peningkatan
curah jantung dan volume plasma sebesar
50% terjadi pada awal trimester ketiga.
2.
Fluktuasi
volume plasma dan curah jantung terjadi pada masa peripartum.
3.
Penurunan
tahanan vaskuler sistemik mencapai titik terendah pada trimester kedua dan
meningkat lagi sampai 20% di bawah normal pada akhir kehamilan.
4.
Bila
memerlukan terapi antikoagulan digunakan derivat kumarin.
INTRAPARTUM
Persalinan
untuk penderita kelainan jantung idealnya adalah singkat dan bebas nyeri.
Induksi persalinan dilakukan bila serviks sudah matang. Kadang kala penderita
penyakit jantung yang berat memerlukan pemantauan hemodinamik yang invasif
dengan pemasangan kateter arteri dan arteri pulmonalis. Seksio sesaria
dilakukan hanya atas indikasi medis.1, 6
Pemantauan
ibu dan janin sebaiknya dikerjakan selama persalinan. Pemantauan EKG
berkelanjutan selama persalinan sangat dianjurkan. Kateter Swan-Ganz sangat
bermanfaat karena dapat memberikan
informasi akurat mengenai status cairan tubuh dan fungsi jantung kiri. Kateter
Swan-Ganz memungkinkan pengukuran tekanan kapiler paru yang merupakan gambaran
paling akurat dari hubungan antara volume darah dengan kapasitas vaskuler,
serta hubungan antara tekanana vena sentral dengan output jantung.1, 6
Standar
penanganan penderita kelainan jantung dalam masa persalinan adalah :1
1.
Diagnosis
yang akurat
2.
Jenis
persalinan berdasarkan pada indikasi obstetri
3.
Penanganan
medis dimulai pada awal persalinan
a.
Hindari
partus lama
b.
Induksi
dilakukan bila serviks sudah matang
4.
Pertahankan
stabilitas hemodinamik
a.
Pemantauan
hemodinamik invasif bila diperlukan
b.
Mulai
dengan keadaan hemodinamik yang sudah terkompensasi
c.
Penanganan
yang spesifik tergantung pada kondisi
jantung.
5.
Cegah
nyeri dan respons hemodinamik dengan pemberian analgesia epidural dengan
narkotik dan teknik dosis rendah lokal.
6.
Antibiotik
profilaksis diberikan bila ada risiko endokarditis.
7.
Ibu
tidak boleh mengedan. Persalinan dengan vakum atau forcep rendah.
8.
Hindari
perdarahan dengan melakukan managemen aktif kala III dan penggantian cairan
yang dini dan sesuai.
9.
Managemen
cairan pada postpartum dini : sering diperlukan pemberian diuresis yang
agresif namun pelu hati-hati.
PUERPERALIS
Persalinan dan masa puerperium merupakan periode dengan risiko maksimum untuk pasien dengan
kelainan jantung. Selama periode ini, pasien harus dipantau untuk mengetahui
ada tidaknya tanda-tanda gagal jantung, hipotensi dan aritmia. Perdarahan
postpartum, anemia, infeksi dan tromboemboli merupakan komplikasi yang menjadi
lebih serius bila ada kelainan jantung.
Sangat
penting untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan pada kala III.
Oksitosin sebaiknya diberikan secara infus kontinu untuk menghindari penurunan
tekanan darah yang mendadak. Alkaloid ergot seperti metil ergometrin tidak
boleh dipakai karena obat ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena
sentral dan hipertensi sementara.1, 7
Dalam masa post partum diperlukan
pengawasan yang cermat terhadap keseimbangan cairan. Dalam 24-72 jam terjadi
perpindahan cairan ke sirkulasi sentral dan dapat menyebabkan kegagalan
jantung. Perhatian harus diberikan kepada penderita yang tidak mengalami diuresis spontan. Pada keadaan ini,
bila ada penurunan saturasi oksigen yang dipantau dengan pulse oxymetri,
biasanya menandakan adanya edema paru.1, 7
Ambulasi dini sebaiknya dianjurkan
pada periode post partum untuk mencegah terjadinya stasis dan pooling
vena. Dianjurkan pemakaian stocking elastic karena dapat mengurangi risiko
tromboemboli. 6
Walaupun
beberapa klinikus tidak menganjurkan pasien penderita kelainan jantung untuk
menyusui bayinya namun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk memberi ASI (air
susu ibu) selama hidrasi yang adekuat dapat dipertahankan. Namun demikian ibu
dianjurkan untuk tidak sepenuhnya tergantung pada ASI eksklusif tetapi juga memberikan
susu formula kepada bayinya. Harus diperhatikan bahwa sebagian dari obat-obat yang diberikan kepada ibu dalam
masa peripartum dapat melewati ASI.6
Anjurkan
pemakaian kontrasepsi dan metode kontrasepsi yang dipakai sebelum hamil perlu
ditinjau kembali. Pemakaian kontrasepsi yang tepat dapat merupakan terapi
adjuvant bagi penderita kelainan jantung sebaliknya kontrasepsi yang tidak
sesuai dapat mengancam jiwanya. Kebanyakan penderita dapat memakai kontrasepsi
seperti wanita postpartum normal, namun sebagian yang dengan hipertensi
pulmonal, sianosis, memakai antikoagulan karena operasi penggantian katup,
kegagalan jantung atau transplantasi jantung harus mendapat perhatian yang
cermat. Alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR) tidak diindikasikan bagi pasien yang berisiko untuk endokarditis
misalnya yang menjalani transplantasi jantung
dan memerlukan terapi immunosupresi, ada riwayat endokarditis, memakai
katup protese atau mendapat terapi antikoagulan jangka panjang. Bila akan
dilakukan sterilisasi tuba postpartum setelah persalinan pervaginam maka
sebaiknya prosedur ini ditunda sampai jelas bahwa ibu dalam keadaan tidak
demam, tidak anemia dan terbukti bahwa dia dapat bergerak tanpa ada tanda-tanda
distres.6,
7
Respons kardiovaskuler baru akan
kembali normal setelah 7 bulan postpartum. Penderita disfungsi ventrikel kiri
karena kardiomiopati peripartum memerlukan pemeriksaaan ekokardiografi tiap 3
bulan. Setelah keluar dari rumah sakit penderita perlu memeriksakan diri pada dokter
obgin dan kardiolog.
KELAINAN
JANTUNG BERISIKO RENDAH TERHADAP IBU HAMIL
ATRIAL
SEPTAL DEFECT (ASD)
Atrial septal defect (ASD) merupakan
kelainan jantung kongenital yang paling sering ditemukan dalam kehamilan dan
umumnya asimptomatik. Pada pemeriksaan tampak tanda yang khas berupa dorongan
ventrikel kanan dan bising sistolik yang keras pada tepi sternum kiri, dan
bunyi jantung kedua yang terpisah. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
tampak hipertrofi ventrikel kanan dan right bundle branch block dengan aksis
jantung normal. Pada pemeriksaan foto toraks tampak peningkatan vaskularisasi
paru dan pembesaran ruang jantung kanan. 1, 2, 5
Biasanya perubahan pada kehamilan
dapat ditolerir oleh penderita ASD kecuali peningkatan volume darah yang
terjadi pada trimester kedua. Ada beberapa laporan mengenai terjadinya
kegagalan jantung kongestif dan aritmia
pada pasien-pasien ini. Kegagalan
jantung kongestif merupakan indikasi untuk melakukan operasi untuk mengoreksi
defek. Sebagian kecil penderita ASD kemudian mengalami hipertensi pulmonal dan
sindroma Eisenmenger ( shunt balik dari kanan ke kiri karena tekanan arteri
pulmonalis suprasistemik). Keadaan ini dapat membahayakan jiwa penderita
sehingga perlu penanganan yang hati-hati dan serius.5
VENTRICULAR
SEPTAL DEFECT (VSD)
Pasien penderita VSD yang mencapai
usia reproduksi umumnya mempunyai defek yang kecil sebab defek yang besar
memerlukan koreksi pada masa kanak-kanak. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan
getaran dan bising pada tepi sternum kiri, bunyi jantung pertama yang keras dan
bunyi gemuruh diastol. Pada defek yang kecil pemeriksaan EKG umumnya nampak
normal namun dapat pula tampak tanda hipertrofi ventrikel kiri dan kanan. Pada
foto toraks pembesaran ventrikel kanan dan atrium kiri.2, 5
Umumnya kehamilan dapat ditolerir
oleh penderita VSD karena kehamilan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler
yang mengurangi terjadinya shunt kiri – kanan. Morbiditas dan mortalitas
meningkat bila terjadi hipertensi pulmoner dan sindroma Eisenmenger. Pada masa
postpartum penderita VSD dengan hipertensi pulmonal berisiko untuk mengalami
kegagalan jantung ketika terjadi penurunan tekanan darah dan volume darah yang
sesaat sehingga menyebabkan shunt terbalik.5
PATENT
DUCTUS ARTERIOSUS
Dengan makin majunya teknik operasi
jantung anak maka kasus ini sudah jarang ditemukan pada orang dewasa.
Kebanyakan penderita asimptomatik kecuali bila terjadi komplikasi hipertensi
pulmonal. Pada pemeriksaan fisik terdengar bising pada interkosta II.
Hipertrofi ventrikel kanan dan kiri dapat terlihat pada pemeriksaan EKG, dan
pada pemeriksaan foto toraks tampak hipervaskularisasi paru serta pembesaran
ventrikel kiri dan atrium kiri. Seperti pada kelainan shunt yang lain maka
pemeriksaan doppler dan ekokardiografi kontras bermanfaat untuk menentukan
dimensi ruang dan mendeteksi shunt.2, 5
Umumnya penderita dapat mentolerir
perubahan pada kehamilan. Namun seperti lesi shunt kiri-kanan yang lain harus
dilakukan penanganan yang baik untuk mencegah shunt balik yang terjadi karena
hipotensi dan kehilangan darah postpartum. Morbiditas dan mortalitas akan
meningkat bila terjadi hipertensi pulmonal.2, 5
REGURGITASI
MITRAL
Regurgitasi mitral mempunyai banyak
penyebab, namun pada wanita muda penyebab tersering adalah rematik (selalu
berhubungan dengan stenosis mitral). Tanda yang khas pada pemeriksaan fisik
adalah bising holosistolik pada apeks jantung yang menjalar ke aksila dan pada
pemeriksaan EKG tampak tanda pembesaran atrium kiri. Fibrilasi atrium jarang
ditemukan kecuali bila atrium kiri sangat membesar.5
Umumnya kehamilan dapat ditolerir
dengan baik sebab pada kehamilan normal terjadi penurunan resistensi vaskuler
yang tidak membebani ventrikel. Bila terjadi regurgitasi mitral yang berat
akibat kongesti paru maka harus diberikan diuresis dan digoxin profilaksis.5
INSUFISIENSI
AORTA
Seperti pada regurgitasi mitral,
insufisiensi aorta jarang ditemukan pada wanita usia reproduksi dan biasanya
disebabkan oleh rematik, hampir selalu berhubungan dengan penyakit katup
mitral. Penyebab insufisiensi yang jarang adalah sindroma Marfan dan pada
pasien yang hamil perlu dilakukan evaluasi untuk menentukan apakah insufisiensi
aorta yang tejadi disebabkan oleh sindroma Marfan.5
Tanda khas pada pemeriksaan fisik
adalah bising diastolik pada tepi atas sternum yang paling kuat terdengar pada
posisi duduk dan saat akhir ekspirasi. Pada insufisiensi yang lama akan tampak
gambaran pembesaran ventrikel kiri pada pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Penanganannya sama dengan regurgitasi mitral.1, 5
LESI
KATUP TRIKUSPIDAL DAN PULMONAL.
Regurgitasi trikuspidal merupakan
hal yang sangat umum ditemukan pada kehamilan normal dan jarang menimbulkan
dampak klinis kecuali bila regurgitasi trikuspidal yang berhubungan dengan
anomali Ebstein yang akan meningkatkan morbiditas dalam kehamilan. Stenosis
trikuspidal dan insufisiensi pulmonal jarang ditemukan dalam kehamilan dan
hanya ada beberapa laporan saja mengenai kasus ini.5
Stenosis pulmonal merupakan gambaran
kelainan jantung kongenital yang berdiri sendiri atau merupakan bagian dari
tetralogi Fallot. Pada pemeriksaan fisik gelombang “A” yang menonjol pada
tekanan vena jugularis. Bising kresendo dan dekresendo biasa terdengar
sepanjang daerah parasternal kiri atas. Gambaran EKG terlihat normal kecuali
bila stenosis yang berat sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan dan deviasi
aksis kanan. Pada pemeriksaan foto toraks tampak pembesaran ventrikel kanan dan
tonjolan arteri pulmonalis.2, 5
Kehamilan umumnya dapat ditolerir
bahkan pada stenosis pulmonal yang tidak dikoreksi. Walaupun pemasangan balon
valvuloplasty perkutaneus merupakan pengobatan terpilih namun bila terjadi
kegagalan jantung yang refrakter selama kehamilan maka operasi merupakan
tindakan yang lebih baik sebab pemasangan balon memberikan efek radiasi pada
janin.5
KELAINAN
JANTUNG YANG BERISIKO SEDANG TERHADAP IBU HAMIL
STENOSIS
MITRAL
Stenosis katup mitral hampir selalu
berhubungan dengan penyakit jantung reumatik. Disfungsi katup akan terjadi
seumur hidup. Kerusakan katup ini dipicu oleh episode demam rheuma yang
berulang. Demam rheumatik sendiri merupakan respon imunologik terhadap infeksi
streptococcus b
hemolitik grup-A. Insiden penyakit ini dalam populasi dipengaruhi oleh kondisi
kemiskinan.1
Pasien dengan stenosis mitral
asimptomatik mempunyai umur harapan hidup 10 tahun sekitar 80%, namun bila
kemudian menjadi simtomatik akan berkurang menjadi 15%. Bila ada hipertensi
pulmonal maka rata-rata harapan hidup kurang dari 3 tahun. Kematian terjadi
karena edem paru yang progresif, kegagalan jantung kanan, emboli sistemik atau
emboli paru.
Stenosis katup mitral menghalangi
aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada saat diastol. Luas
permukaan katup mitral yang normal sekitrar 4 – 5 cm2. Gejala pada
saat aktifitas akan nampak bila luas
permukaan ini < 2,5 cm2. Gejala pada saat istirahat
dipastikan akan timbul bila luas permukaan < 1,5 cm2. Curah
jantung terbatas karena aliran darah yang relatif pasif selama diastol ;
peningkatan arus balik dari vena akan menyebabkan kongesti paru. Takikardia
relatif dalam masa kehamilan mengurangi pengisian ventrikel kiri dan
selanjutnya mempengaruhi curah jantung dan meningkatkan kongesti paru.1
Kelelahan dan sesak pada saat
aktifitas merupakan gejala khas untuk stenosis mitral namun juga sering
ditemukan pada kehamilan normal. Gejala lain berupa bising diastolik dan
distensi vena jugularis sering luput dari perhatian. Pemeriksaan ekokardiografi
diperlukan untuk menyingkirkan adanya stenosis mitral khususnya pada pasien
dari kelompok yang berisiko. Diagnosis
ekokardiografi stenosis mitral didasarkan pada gambaran khas stenosis berupa
katup yang mengalami kalsifikasi. Bila luas penampang katup kurang atau sama
dengan 1,0 cm2 biasanya diperlukan penanganan farmakologi dalam
kehamilan dan pemantauan hemodinamik yang invasif pada saat persalinan.
Hipertensi pulmonal yang merupakan komplikasi yang memperburuk stenosis mitral
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan ekokardiografi.1, 2
Penanganan antepartum pada penderita
stenosis mitral bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara upaya untuk
meningkatkan curah jantung dan keterbatasan aliran darah yang melewati katup
stenosis. Kebanyakan ibu hamil memerlukan diuresis berupa pemberian furosemid.
Pemberian b-blocker
akan menurunkan denyut jantung, meningkatkan aliran darah yang melewati katup
dan menghilangkan kongesti paru.1, 5
Wanita dengan riwayat penyakit katup
rheuma yang berisiko untuk kontak dengan populasi yang mempunyai prevalensi
tinggi untuk infeksi streptococcus harus mendapat profilaksis penicilllin G
peros setiap hari atau benzathine penicillin setiap bulan. Pasien yang
mengalami fibrilasi atrium dan riwayat emboli harus diterapi dengan
antikoagulan.1
Pada saat persalinan sering terjadi
dekompensasi karena nyeri akan menginduksi takikardia. Kontraksi uterus
meningkatkan aliran balik vena dan kemudian terjadi kongesti paru. Hemodinamik
penderita dengan luas katup < 1 cm2 harus ditangani dengan
bantuan kateter arteri pulmonalis. Denyut jantung dipertahankan dengan
mengontrol nyeri dan pemberian b-blocker. Kala II diperpendek dengan
persalinan forcep atau vakum rendah. Seksio sesaria dilakukan hanya atas
indikasi obstetri. Pemberian diuresis yang progresif akan menurunkan kongesti
paru dan desaturasi oksigen.1, 5
STENOSIS
AORTA
Stenosis aorta jarang ditemukan pada
kehamilan karena kelainan ini sering ditemukan pada populasi yang lebih tua,
namun penderita stenosis aorta yang mempuyai katup aorta bikuspidal dapat
menjadi simptomatik pada usia 20- an dan 30-an. Stenosis aorta menandakan
adanya obstruksi aliran darah yang keluar dari ventrikel kiri. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan bising sistolik kresendo dan dekresendo pada tepi atas sternum,
pada tipe yang berat bunyi jantung kedua tidak terdengar. Pada EKG tampak tanda
hipertrofi ventrikel kiri dan pada foto toraks gambaran jantung membesar.1, 5
Pada kasus yang berat mortalitas ibu
dilaporkan sekitar 17%, risiko untuk mendapat bayi dengan kelainan jantung
kongenital berkisar 17% - 26%, sehingga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
ekokardiografi terhadap janin pada trimester kedua. Penanganan pada pasien
terutama adalah tirah baring dan mempertahankan volume darah yang adekuat. Pada
saat persalinan dilakukan pemantauan sentral dengan kateter Swan-Ganz dan cegah
terjadinya hipotensi. Anestesi spinal dan epidural harus dilakukan dengan
hati-hati pada pasien stenosis berat karena bahaya hipotensi. Bila memungkinkan
sebaiknya dilakukan koreksi stenosis sebelum kehamilan, namun juga telah
dilaporkan penggantian katup aorta pada saat kehamilan yang memberikan hasil
memuaskan. Valvuloplasty balon pada katup aorta telah berhasil dilakukan pada
saat kehamilan dengan luaran maternal dan perinatal yang memuaskan.5
SINDROMA
MARFAN
Merupakan kelainan autosom dominan
dengan defek sintesis kolagen yang mengenai mata, skelet, dan kardiovaskuler
dengan derajat yang bervariasi. Gen yang terkena berlokasi di kromosom 15.
Manifestasi kardiovaskuler berupa prolaps katup mitral dengan regurgitasi
mitral, dilatasi aneurisma aorta yang berhubungan dengan regurgitasi aorta.5
Kehamilan akan meningkatkan risiko
ruptur aorta pada penderita sindroma Marfan. Morbiditas dan mortalitas
tergantung pada apakah kelainan berupa dilatasi pangkal aorta atau kelainan
katup. Bila diameter pangkal aorta lebih
dari 40 mm maka kematian dapat mencapai 50%, sebaliknya bila aorta tidak
membesar dan katup tidak terkena maka kehamilan dapat mencapai aterm dengan
morbiditas dan mortalitas maternal yang rendah. Penderita harus diberitahu
mengenai bahaya ini dan mendapat pengawasan ketat terhadap gejala dan tanda
diseksi aorta. Pemeriksaan ekokardiogram serial dilakukan selama kehamilan
untuk menilai keadaan jantung khususnya pangkal aorta dan ada tidaknya
regurgitasi. Obat beta-blocker secara selektif dapat menurunkan risiko dilatasi
aorta yang progressif dengan menurunkan tekanan pulsatil pada dinding aorta.5
KELAINAN
JANTUNG YANG BERISIKO TINGGI TERHADAP IBU HAMIL
SINDROMA
EISENMENGER
Pada sindroma ini terjadi hipertensi pulmonal yang
mendekati tekanan sistemik menyebabkan aliran balik dari shunt kiri – kanan
menjadi shunt kanan – kiri menyebabkan hipoksemia dan kematian. Pasien akan
mengalami sianosis perifer, kegagalan jantung kongestif dan hemoptisis.
Kelainan kongenital yang berupa shunt kiri – kanan seperti ASD, VSD atau PDA
dengan hipertensi pulmonal progresif dapat menyebabkan terjadinya sindroma
Eisenmenger. 2, 5
Keadaan ini akan menyebabkan mortalitas
ibu yang sangat tinggi (23 – 50%) yang dapat terjadi pada masa kehamilan atau
periode postpartum. Penderita harus diberitahu mengenai risiko ini dan
ditawari untuk memilih terminasi kehamilan atau melanjutkan
kehamilannya. Bila penderita memilih untuk melanjutkan kehamilan maka
penanganannya meliputi tirah baring secara ketat, pemberian oksigen kontinu,
digoksin, pemantauan hemodinamik infasif pada periode peripartum, percepat kala
II dengan persalinan forsep rendah. Penderita harus dirawat di rumah sakit. PaO2
ibu dipertahankan di atas 70% untuk menjamin oksigenasi janin yang adekuat.2, 5
Berhubung karena tingginya kejadian
pertumbuhan janin terhambat dan kematian janin maka direkomendasikan untuk
melakukan pemantauan janin secara ketat dengan pemeriksaan USG serial dan NST
dan atau pemeriksaan profil biofisik. Periode peripartum merupakan periode yang
genting berhubung karena terjadi
perubahan volume darah yang cepat dan kemungkinan perdarahan. Penderita
harus diawasi di rumah sakit selama seminggu sesudah persalinan sebab risiko
kematian ibu meningkat pada periode ini.5
HIPERTENSI
PULMONAL PRIMER
Hipertensi pulmonal primer merupakan
keadaan dimana terjadi penebalan abnormal dan konstriksi tunika media arteri pulmonalis
yang menyebabkan fibrosis tunika intima dan pembentukan trombus. Penyebabnya
tidak diketahui, ditemukan pada wanita muda dan menyebabkan peningkatan tekanan
arteri pulmonalis yang progresif. Gejalanya berupa sesak, fatique, palpitasi
dan kadangkala sinkop.5
Pada pemeriksaan fisik tampak
penonjolan gelombang “A” pada vena jugularis, desakan ventrikel kanan dan
biasanya bunyi jantung kedua yang dapat dipalpasi. Pada tahap akhir akan tampak
tanda-tanda kegagalan jantung kanan berupa peningkatan tekanan vena jugularis,
hepatomegali dan edem. Pada pemeriksaan EKG dan foto toraks tampak pembesaran
ventrikel kanan dan deviasi aksis jantung ke kanan. 5
Angka kematian maternal pada keadaan
ini dapat melebihi 40%, bahkan kematian tetap tinggi pada pasien yang
asimptomatik atau dengan gejala yang ringan pada saat sebelum hamil. Angka
kematian janin dan neonatal pada kasus ini juga tinggi. Penderita sering datang
pada trimester kedua saat perubahan hemodinamik yang maksimal dan sering dengan
gejala kegagalan jantung kanan. Berhubung karena tingginya angka kematian
maternal maka penderita dianjurkan untuk tidak hamil, dan bila hamil ditawarkan
untuk menjalani terminasi kehamilan pada trimester pertama. Namun bila
penderita memilih untuk tetap melanjutkan kehamilannya maka harus dilakukan
tirah baring, rawat inap pada trimester ketiga, pengobatan dini terhadap gejala
kegagalan jantung kongestif dengan digoksin dan diuretik dan lakukan pemantauan hemodinamik invasif
selama persalinan. Pemberian antikoagulan dapat memperbaiki prognosis penyakit
ini. Nifedipin dosis tinggi peros dan pemberian adenosin intravena bermanfaat
untuk menurunkan resistensi pembuluh darah pulmoner.5, 6
KARDIOMIOPATI
PERIPARTUM
Kardiomiopati peripartum menyebabkan
kegagalan jantung pada bulan terakhir kehamilan atau pada 6 bulan pertama
postpartum tanpa penyebab yang jelas. Di Amerika Serikat insidennya bervariasi
dari 1 per 4000 kelahiran sampai 1 per 1500 kelahiran. Puncaknya terjadi pada bulan
kedua postpartum, meningkat pada ibu yang berusia tua, multipara dan kulit
hitam. Angka kematian ibu bervariasi dari 25% – 50%. 1, 5
Walaupun penyebabnya belum diketahui
namun diduga karena hipertensi, infeksi virus, reaksi imunologik dan defisiensi
vitamin. Di Nigeria dilaporkan insiden yang lebih tinggi karena ibu postpartum
mengkonsumsi garam dalam jumlah yang besar.5
Gejala klinis yang timbul berupa
orthopnea, dyspnea, kelemahan, palpitasi, edem perifer dan kadang hemoptisis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali, irama gallop, distensi vena-vena
di daerah leher. Pemeriksaan EKG tampak gambaran segmen ST yang abnormal dan
perubahan gelombang T. Kardiomegali dan kongesti vena pulmonal merupakan tanda
khas pada pemeriksaan foto toraks. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk
menyingkirkan adanya kelainan katup.1, 5
Pengobatan berupa tirah baring,
hindari aktifitas fisik, pengobatan kegagalan jantung kongestif dengan digoksin
dan diuretik. Berhubung karena meningkatnya risiko tromboembolik pada pasien
ini maka perlu dipertimbangkan pemberian heparin.5
Prognosis tergantung pada perjalanan
penyakit saat postpartum. Bila
kardiomegali menetap maka prognosisnya jelek, sebaliknya bila ukuran
jantung kembali normal dalam 6-12 bulan menandakan prognsosis yang lebih baik.
Penderita yang refrakter dianjurkan untuk menjalani transplantasi jantung dan
sudah ada laporan mengenai keberhasilan persalinan sesudah transplantasi.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Easterling
TR, Otto C. Heart disease. In: Gabbe, editor. Obstetrics-normal and problem
pregnancies. 4 th ed. London: Churchill Livingstone Inc; 2002. p. 1005-30.
2. Cunningham
F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Cardiovascular
diseases. In: Williams obstetrics. 21 st ed. New York: McGraw Hill; 2001. p.
1181-203.
DAFTAR
PUSTAKA
3)
Gray, Huon
H [et.al..]. 2009. Kardiologi. Jakarta
: Penerbit Erlangga
7)
Wiknjosastro,
Hanifa. 2007. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP
8)
Norwitz,
Errol dan John O Schorge. 2008. At A Glance Obstetri & Ginekologi. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar